Gelombang Protes Kenaikan BPJS Kesehatan Terus, Giliran  Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia

Gelombang Protes Kenaikan BPJS Kesehatan Terus, Giliran  Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Meski Presiden Joko Widodo telah meneken peraturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, namun gelombang protes masih terus terjadi. Setelah kaum buruh, Wakil MPR RI Hidayat Nur Wahid, kini protes keras datang dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Intinya mereka merasa terbebani dengan kenaikan iuran BPJS 100 persen. Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir dengan tegas menolak kebijakan itu. Alasannya, besaran kenaikan memberatkan kelompok masyarakat kurang tidak mampu. \"Sangat memberatkan khususnya kelompok masyarakat yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu tapi belum terdaftar sebagai peserta JKN PBI (penerima bantuan iuran),\" ujar Tony, kemarin (4/11). Menurut Tony, pasien jenis itu tidak lagi memiliki penghasilan. Bahkan penghasilan mereka terbilang rendah. Maka, bila keniakan iuran BPJS Kesehatan menjadi 100 persen, tentu saja akan memberatkan pengeluaran peserta mandiri. \"Coba kalau dalam satu keluarga ada empat orang, dengan iuran baru maka akan mengeluarkan uang sebesar Rp160 ribu untuk kelas tiga. Ini kan tidak masuk akal,\" kata dia. Terkait para pasien cuci darah yang tergabung di KPCDI, kata dia, berupaya turun ke kelas tiga bahkan ada yang mencoba keberuntungannya dengan mendaftarkan menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Baca Juga Hanya Disetujui 37 Orang, Formasi CPNS Temanggung Tak Sesuai Kebutuhan Hal itu dilakukan demi hidupnya terus berkelanjutan. Lanjut dia, kenaikan iuran BPJS bukan memperbaiki akar masalah, melainkan menambah masalah baru bagi masyarakat miskin. \"Kenaikan iuran bukan solusi mengatasi deifsit BPJS Kesehatan. Justru hanya membebani masyarakat. Khususnya pasien cuci darah yang biaya pengobatannya tak sepenuhnya dijamin oleh BPJS,\" ucap dia. Adapun, kata dia, pemerintah harus bisa membenahi seperti menagih tagihan bagi peserta yang menuggak iuran, perbaikan manajemen klaim, dan mengevaluasi sistem rujukan. Bila hal itu dilakukan, dia meyakini defisit tidak akan terjadi. Peran pemerintah pun harus ikut berperan besar. Artinya harus paling banyak menanggung porsi untuk menutup defisit tanpa membebani masyarakat. Hal itu tertuang dalam dalam UUD Tahun 1945. Dengan tegas menyatakan konsep Sistem Jaminan Sosial, antitesa dari sistem kesehatan yang komersial. Tugas menyelenggarakan satu Sistem Jaminan Sosial ada pada Negara. TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional. Terpisah, Koordinator Wilayah Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Korwil MP BPJS), Fachrudin Piliang menilai kenaikan iuran hingga 100 persen mencekik masyarakat, sehingga akan ditinggalkan masyarakat. Apalagi kata dia, pelayanan selama ini kurang memuaskan. Dia menduga, kenaikan iuran hanya untuk mencari untung besar. \"Prinsip BPJS itu nirlaba, bukan bisnis oriented seperti asuransi swasta,\" ujar dia. Sementara itu, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menilai masyarakat tidak konsisten alias hanya mau enaknya sendiri. \"Menurut saya masyarakat kita sendiri tidak jelas. Kalau kita mau pelayanan BPJS Kesehatan baik, kalau enggak mau bayar iuran ya pasti defisit. Ini iuran udah murah nuggak mulu, udah murah enggak mau bayar. Ini harus disampaikan, kita harus konsisten,\" ujar Piter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Senin (4/11). Sebenarnya, menurut Piter, persoalan untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan bukan sekadar menaikkan iuran saja, tetapi banyak persoalan yang harus diselesaikan seperti dugaan banyak orang kaya raya yang menunggak iuran. \"karena dugaannya sekrang ini yang memanfatakan (iura BPJS Kesehatan) banyak orang-orang kaya yang menunggak,\" tukas Piter. Sekadar informasi, besaran iuran bagi peserta PBI yang ditanggung oleh APBN maupun peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI daerah) sebesar R 42 ribu dan mulai berlaku 1 Agustus 2019. Pemerintah pusat memberikan bantuan pendanaan kepada pemerintah daerah sebesar Rp19 ribu per peserta per bulan sejak Agustus 2019 untuk menutupi selisih kenaikan iuran di 2019. Besaran yang sama, yaitu Rp42 ribu, juga ditetapkan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) dengan layanan kelas III. Sementara untuk PBPU dan Bukan Pekerja kepesertaan kelas II sebesar Rp110 ribu, dan kepesertaan kelas I sebesar Rp160 ribu. Besaran iuran bagi peserta PBPU dan BP akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Sementara besaran iuran untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) baik ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, dan karyawan swasta yaitu 5 persen dari upah per bulan, dengan batas maksimal upah sebesar Rp 12 juta. Ketentuan besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta PPU ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, mulai berlaku per 1 Oktober 2019. Sementara untuk PPU dari badan usaha swasta mulai berlaku per 1 Januari 2020.(din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: