Iuran BPJS Dikritik, Istana Menjawab
![Iuran BPJS Dikritik, Istana Menjawab](https://magelangekspres.disway.id/upload/2020/05/jambiindependent_com_51_abetnego-tarigan.jpg)
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Berbagai kritikan muncul atas keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Keberlangsungan pengelolaan BPJS menjadi alasan pemerintah. \"Dengan angka itu yang memang punya prospek keberlanjutan pengelolaan BPJS. Memang dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran,\" kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II KSP bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis Abetnego Tarigan di Jakarta, Kamis (14/5). Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu dan kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu. Selanjutnya iuran peserta mandiri kelas III baru akan naik tahun depan. Pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Perpres No. 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang memuat soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada Perpres 75 tahun 2019 yang sudah dibatalkan itu menyebut iuran peserta mandiri kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas II sebesar Ro110 ribu dan kelas III sebesar Rp42 ribu. \"Paket di perpres yang baru adalah upaya untuk perbaikan keseluruhan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Jadi ini memperkuat upaya perbaikan tata kelola dari JKN ,\" tutur Abetnego. Dalam perpres No. 64 tahun 2020 itu juga mengatur iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Pusat. Semula, peserta PBI terbagi menjadi PBI pusat dan PBI daerah atau PBI APBD. Artinya pembayaran PBI bagi 40 persen dari penduduk ekonomi terbawah di Indonesia berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) ditanggung pemerintah pusat. Sedangkan nantinya pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta mandiri Kelas III. \"Jadi yang dibatalkan terkait dengan dilakukan penyesuaian. Kemudian penyesuaian dilakukan pemerintah caranya adalah yang PBI pasti dibayar pemerintah. Tetapi yang bukan PBI tetap bayar seperti dulu. Selebihnya ada bantuan iuran pemerintah,\" terang Abetnego. Bagi peserta mandiri yang kesulitan membayar tetap ada kesempatan untuk mengajukan diri sebagai peserta PBI melalui perbaikan data di Kementerian Sosial. \"Yang juga harus dilihat terus-menerus adalah upaya perbaikan sistem informasi ketersediaan tempat tidur RS sekarang kan sudah online. Tidak ada lagi orang ditolak-tolak. Kemudian prosesnya lebih cepat dan lain-lainnya,\" terangnya. Ia menegaskan kenaikan tersebut demi perbaikan sistem. Menurutnya, tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah sakit. \"Jadi situasinya itu terbuka. Aartinya terbuka untuk warga masyarakat menyesuaikan di kelas mana. Bahkan termasuk ketika banyak warga jadi PBI. Karena situasi pandemik COVID sehingga banyak keluarga yang jatuh miskin,\" urainya. Abetnego mengakui kondisi negara sedang dalam situasi sulid akibat pandemik COVID-19. Ia pun terbuka bila ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MA terkait perpres tersebut. \"Setiap warga negara juga berhak menggunakan hak-haknya termasuk menggugat kebijakan pemerintah ke MA. Tetapi tentu pemerintah harus bisa menjelaskan situasinya kenapa angka-angka ini yang muncul,\" papar Abetnego. Hal senada disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan pemerintah masih dalam koridor menjalankan putusan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Menurutnya, Perpres tersebut dan tidak menentang putusan Mahkamah Agung. \"Kalau melihat ada tiga opsi dari peraturan MA. Satu mencabut, opsi kedua mengubah, atau ketiga melaksanakan. Nah artinya Pak Jokowi masih dalam koridor, konteksnya adalah yang kedua mengubah. Dan mengubah ini masih sangat menghormati kalau compare ke Perpres 75,\" ujar Fachmi di Jakarta (14/5). Fachmi membantah apabila pemerintah disebut tidak menghormati putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019 terkait kenaikan iuran peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Dia beralasan peraturan MA yang menyatakan implikasi dari putusan Mahkamah Agung, yaitu mencabut Perpres, mengubah Perpres, atau melaksanakan putusan. \"Kalau kita baca tekstual dan literal yang ada di peraturan MA itu clear. Pemerintah mencabut, mengubah, atau melaksanakan, dan itu masih dalam koridor,\" jelasnya. Selain itu, Fachmi juga menjelaskan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat yang disampaikan DPR RI pada rapat kerja bersama sebelumnya. DPR RI menolak kenaikan iuran untuk peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III sesuai dengan ketentuan Perpres 75 2019. DPR RI meminta iuran untuk peserta mandiri kelas III tetap Rp25.500. \"Permintaan DPR clear iuran peserta mandiri kelas III tetap Rp25.500. Kalau angkanya Rp42 ribu itu pemerintah mensubsidi,\" urai Fachmi. Menurut Fachmi Perpres 64 Tahun 2020 mengembalikan nilai-nilai fundamental program JKN yang berazaz gotong royong. Yakni antara masyarakat dan juga pemerintah. Perpres terkait penyesuaian iuran yang baru ini adalah bentuk hadirnya negara pada masyarakat miskin dan tidak mampu dalam memberikan jaminan kesehatan. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres itu disebutkan iuran peserta mandiri atau segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja kelas III sebesar Rp42.000 mulai berlaku Juli 2020. Namun, di dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 disebutkan peserta hanya cukup membayarkan iuran sebesar Rp25.500 saja karena sisanya sebesar Rp16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat. Sedangkan untuk tahun 2021 iuran peserta mandiri kelas III menjadi Rp35 ribu dan selisih sisanya sebesar Rp7 ribu dibayar oleh pemerintah. Sedangkan bagi peserta PBPU dan BP kelas II ditetapkan iuran sebesar Rp100 ribu dan kelas I sebesar Rp150 ribu yang mulai berlaku pada Juli 2020. Terpisah, Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo, mengajak masyarakat gotong-royong menyelamatkan BPJS. Hal ini, terkait keputusan pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan. \"Semangat gotong-royong untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan harus digelorakan lagi. Masyarakat yang mampu bisa mensubsidi masyarakat yang kurang mampu,\" ujar Rahmad di Jakarta, Kamis (14/5). Ia yakin keputusan pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan yang saat ini sedang menjadi polemik di masyarakat, bukan tindakan gegabah tanpa perhitungan. Ia menilai langkah ini adalah cukup taktis menyelamatkan BPJS Kesehatan. Akan tetapi, seiring dengan kenaikan iuran itu, pelayanan juga harus ditingkatkan dan fasilitas tidak boleh berkurang. Ia mengatakan keputusan menaikkan iuran BPJS merupakan ranah pemerintah. Namun yang menjadi parameter sebenarnya bukan soal naik tidaknya iuran BPJS Kesehatan. Melainkan bagaimana sistem jaminan sosial dalam hal ini BPJS Kesehatan ini diselamatkan. \"BPJS Kesehatan adalah badan yang menaungi masalah kesehatan rakyat, sesuai dengan undang-undang. Karena itu, BPJS Kesehatan harus diselamatkan,\" paparnya. Ia menilai sebenarnya yang harus ditolak adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III. Sehingga peserta kelas I dan kelas II yang sudah cukup mampu hendaknya bergotong-royong, membantu, mendukung dan menyubsidi peserta kelas III. \"Nah yang kelas III ini memang serba dilematis. Meskipun pada prinsipnya tidak setuju, tetapi karena pemerintah sudah mengambil keputusan seperti ini, ya kita hormati. Kan masih ada jeda sekian bulan,\" ucapnya.(rh/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: