Janji Pemerintah Ciptakan Iklim Investasi Konduksif, Jangan hanya Lips Service

Janji Pemerintah Ciptakan Iklim Investasi Konduksif, Jangan hanya Lips Service

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA – Lagi-lagi pemerintah berjanji untuk terus menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui beberapa upaya strategis. Misalnya, memberikan kemudahan izin usaha serta memfasilitasi insentif fiskal dan nonfiskal. Meski demikian, janji ini jangan sekadar lips service alias usapan bibir semata. “Dengan adanya investasi masuk, kita akan bisa memperkuat struktur industri manufaktur di dalam negeri. Dari investasi itu juga bisa memacu produktivitas dan menghasilkan produk substitusi impor,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kemarin. Guna menggenjot daya saing industri nasional, kata Agus diperlukan pula perbaikan rantai pasok yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Berikutnya, dukungan ketersediaan bahan baku, sumber daya manusia kompeten, dan suplai energi yang cukup dengan harga yang kompetitif. Di samping itu, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan untuk melakukan transformasi sektor manufaktur di dalam negeri supaya mampu menghadapi perkembangan era industri 4.0. Implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 diyakini akan membangkitkan kembali industri manufaktur di Tanah Air. Dengan pemanfaatan teknologi industri 4.0, kata Agus akan mendorong peningkatan produktivitas sektor industri secara lebih efisien. “Hal ini karena telah terbangunnya konektivitas melalui teknologi digital. Misalnya, menggunakan internet of things atau artificial intelligence,” katanya. Lebih lanjut Agus menuturkan bahwa pemerintah juga berupaya memperluas akses pasar ekspor untuk industri manufaktur. Sebab, selama ini produk pengolahan nonmigas menjadi andalan dalam pencapaian nilai ekspor nasional. “Misalnya, kita perluas pasar ekspor ke negara-negara potensial seperti di Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika,” sebut Agus. Baca Juga Ada Salah Input Data, Ajukan 426, Temanggung hanya Dijatah 27 Formasi CPNS Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, pemerintah memprioritaskan pengembangan lima sektor manufaktur yang dinilai mampu memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kelima sektor tersebut, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika. Tidak hanya menyasar kepada sektor skala besar saja, kami juga tetap memprioritaskan pada pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) yang juga menunjukkan geliat yang baik untuk berperan meningkatkan pertumbuhan sektor industri manufaktur. Agus juga memaparkan, industri pengolahan konsisten memberikan kontribusi paling besar terhadap struktur produk domestik bruto (PDB) nasional, termasuk pada triwulan III tahun 2019 yang mencapai 19,62 persen. Sementara itu, laju industri pengolahan tercatat tumbuh 4,15 persen secara tahunan (y-o-y). “Kita melihat industri pengolahan masih menjadi salah satu motor penggerak utama pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Agus. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, berdasarkan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2019, sumber pertumbuhan tertinggi berasal dari lapangan usaha industri pengolahan sebesar 0,86 persen. Sedangkan, di periode yang sama, pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,02 persen. Pertumbuhan 5,02 persen tersebut, dinilai masih cukup baik di tengah kondisi ekonomi regional yang mengalami ketidakpastian akibat perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Indonesia masih cukup tahan menghadapi ketegangan perang dua negara itu yang tercatat sebagai mitra dagang utama. BPS merinci, industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 8,33 persen (y-o-y), karena didukung oleh peningkatan crude palm oil (CPO) yang sejalan dengan konsumsi domestik CPO. Industri furnitur juga tercatat tumbuh 6,93 persen (y-o-y) lantaran didorong meningkatnya permintaan dari luar negeri. Agus menegaskan, pemerintahan tetap fokus untuk semakin meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa lebih kompetitif di kancah global. Olehnya itu, berbagai langkah strategis akan dijalankan untuk merevitalisasi industri manufaktur di dalam negeri. “Kami terus memacu produktivitas industri kita supaya bisa memenuhi kebutuhan pasar domestik dan mengisi permintaan ekspor. Apalagi, Indonesia punya pasar yang sangat besar. Ini yang menjadi potensi bagi kita,” tuturnya. Baca Juga Kota Magelang Masuk 25 Besar Kota Cerdas di Indonesia Kemudian, kebijakan hilirisasi akan terus dijalankan guna meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri. Upaya strategis ini dinilai memberikan efek berganda yang luas bagi perekonomian, seperti pada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa dari ekspor. Menanggapi apa yang dipaparkan Agus Gumiwang, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menegaskan laporan Bank Dunia yang disampaikan padanya beberapa waktu lalu telah menunjukan Indonesia di bawah Vietnam dan negara tetangga lainnya. ”Laporan itu berisi daftar tujuan baru dari perusahaan yang hengkang dari Cina akibat perang dagang. Dalam data tersebut, Bank Dunia menyebut 33 perusahaan sudah merelokasikan produksinya dari Cina dalam dua bulan terakhir,” jelasnya. Dari seluruh perusahaan itu, 23 diantaranya memilih hijrah ke Vietnam, 10 perusahaan sisanya juga pindah ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Indonesia dilewatkan begitu saja oleh para investor dari negara tujuan pelarian mereka. ”Maka contohlah Vietnam. Jangan sekadar lips service saja!” tandasnya. Laporan tersebut menyebut bahwa perusahaan di Cina berbondong-bondong ke Vietnam dan Thailand hanya 60 hari setelah Amerika Serikat (AS) mengenakan bea impor tambahan kepada Cina. Jokowi geregetan dan terheran-heran, kurang cantik apa Indonesia sehingga investor tersebut tak melirik tanah air sama sekali. “Tidak ada yang ke Indonesia, tolong ini digarisbawahi. Hati-hati, berarti kita punya persoalan yang harus kita selesaikan,” tutur dia beberapa waktu lalu. Vietnam lanjut Arief Poyuono pernah seperti Indonesia. Sekarang memang mereka berhasil menggaet 69 persen perusahaan yang berpindah dari negara tirai bambu tersebut. Tapi dulu mereka juga mengalami masalah. Menurut laporan World Economic Forum, menyulap ekonomi Vietnam bukanlah perkara mudah. Pada 1986 silam, pemerintah Vietnam harus menyiapkan paket reformasi kebijakan dan ekonomi yang disebut Doi Moi. Reformasi dilakukan karena pemerintah Vietnam gemas dengan pendapatan per kapita yang hanya di kisaran US$200 hingga US$300 per hari. Dari serangkaian kebijakan tersebut, World Economic Forum merangkum tiga alasan mengapa Vietnam menjadi bintang bersinar di Asia belakangan ini. ”Pertama, Vietnam sangat berkomitmen dengan globalisasi ekonomi. Kedua, penyederhanaan regulasi secara bombastis. Ketiga, yakni investasi jor-joran di SDM,” terangnya.(dim/fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: