Korporasi dan Krisis Etika Politik: Ketika Donasi Korporasi Jadi Senjata Pengendali Kebijakan

Korporasi dan Krisis Etika Politik: Ketika Donasi Korporasi Jadi Senjata Pengendali Kebijakan

Aldi Jusril Mahendra Pello, Mahasiswa Magister Akuntansi UGM Yogyakarta-DOK-MAGELANG EKSPRES

SETIAP musim politik, wajah-wajah baru bermunculan di baliho dan spanduk. Janji pembangunan, investasi, dan kesejahteraan rakyat mengalun di setiap pidato.

Namun di balik panggung itu, ada bisnis yang turut membiayai, bukan karena idealisme, melainkan investasi kekuasaan.

Mereka bukan sekadar donatur, tapi investor kebijakan. Dengan jargon kemitraan strategis dan partisipasi pembangunan, dana politik disalurkan melalui berbagai jalur: donasi, kegiatan CSR, bahkan dukungan logistik terselubung.

Mereka membeli akses dan pengaruh, dibungkus dengan istilah “kontribusi demokrasi”. Ketika modal ikut menentukan arah kebijakan publik, apakah demokrasi sudah menjadi milik pasar?

BACA JUGA:Influencer dan Endorsemenet: Ketika Uang Bicara Lebih Keras dari Kejujuran

Dalam teori etika bisnis, partisipasi bisnis dalam politik bisa dipahami sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Namun, apakah perusahaan berpartisipasi demi kepentingan publik atau demi laba politik? Dari perspektif utilitarianisme, donasi politik dianggap sah selama membawa manfaat luas.

Namun dari perspektif deontologis, praktik itu menyalahi prinsip keadilan, karena keputusan publik tidak boleh dipengaruhi oleh siapa yang paling kaya.

“Etika bisnis bukan tentang kemampuan membeli pengaruh, tapi kemampuan menjaga integritas dalam sistem yang rawan dibeli.”

BACA JUGA:Bisnis Tak Sekadar Cuan: Saat Branding Sehat Tak Sejalan dengan Etika

Menurut stakeholder theory, perusahaan bertanggung jawab terhadap semua pihak yang terdampak oleh aktivitasnya, bukan hanya pemegang saham, tetapi juga masyarakat. Ketika korporasi menyalurkan dana politik untuk mengamankan proyek atau kebijakan, mereka mengkhianati tanggung jawab itu.

Mereka gagal sebagai citizen, warga moral yang seharusnya menjaga tatanan sosial, bukan memanipulasinya. Dalam kerangka Corporate Citizenship, korporasi bukan sekadar entitas ekonomi, melainkan juga aktor politik. Korporasi diharapkan berkontribusi terhadap demokrasi, namun juga berpotensi menyelewengkan demokrasi.

“Begitu modal memasuki ruang politik, kebijakan kehilangan arah moralnya. Subsidi, izin proyek, bahkan regulasi lingkungan bisa ditulis dengan pena korporasi.”

BACA JUGA:Kolaborasi Inovatif Shopee dan Vidio, Tawarkan Cara Baru Belanja Sambil Nonton

Praktik ini dapat terjadi di sektor-sektor strategis: energi, tambang, infrastruktur, bahkan media. Perusahaan yang mendukung kampanye politik tertentu mendapat balas jasa berupa proyek, izin, atau proteksi regulasi. Ini menunjukkan lemahnya corporate accountability dan batas etis relasi kuasa antara modal dan negara.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: