Kecerdasan Buatan dan Krisis Etika Bisnis: Ketika Algoritma Mengambil Alih Keputusan Manusia
Wahyu Anggari Prameswari, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-DOK PRIBADI-MAGELANG EKSPRES
PERKEMBANGAN teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan besar dalam dunia bisnis. Mulai dari proses rekrutmen karyawan, penilaian kelayakan kredit, hingga strategi pemasaran, banyak keputusan penting ditentukan oleh algoritma yang menawarkan efisiensi dan objektivitas.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan tersebut, muncul pertanyaan mendasar, sejauh mana keputusan yang dihasilkan oleh mesin dapat dianggap etis?
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan besar telah menggunakan AI dalam proses seleksi karyawan, penilaian skor kredit, hingga evaluasi kelayakan nasabah.
BACA JUGA:Resonansi Wilderness Greg Garrard dalam Puisi Hutan Karya Zawawi Imron dan Rini Intama
Teknologi ini sering dipromosikan sebagai sistem yang bebas dari bias dan dapat membantu pengambilan keputusan. Namun, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Chen, Z (2023) menunjukkan bahwa algoritma tersebut kerap kali mereplikasi diskriminasi sosial yang telah ada seperti menolak pelamar kerja perempuan atau kelompok demografis tertentu karena pola data historis yang tidak adil.
Fenomena tersebut mengungkapkan sisi gelap dari efisiensi digital. Keputusan penting dapat dibuat tanpa sentuhan pertimbangan moral manusia. Banyak perusahaan menganggap teknologi sebagai alat yang “netral”, padahal keputusan yang dihasilkan oleh algoritma tetap dipengaruhi oleh nilai dan asumsi yang ditanamkan oleh pembuatnya.
BACA JUGA:Diskon Semu di E-Commerce: Etika yang Terkubur di Balik Label Harga
Oleh karena itu, tanggung jawab perusahaan tidak hanya tentang penggunaan teknologi, tetapi juga bagaimana teknologi tersebut dirancang, diuji, dan diawasi. Berdasarkan analisisnya, penggunaan AI dalam bisnis tetap harus mempertimbangkan keadilan, akuntabilitas, dan transparansi.
Dari perspektif etika bisnis yang dibahas oleh Crane dan Matten, teknologi tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan, tanggung jawab, akuntabilitas, dan transparansi. Ketika algoritma menentukan nasib individu tanpa dasar pertimbangan yang jelas, maka nilai-nilai tersebut terancam.
BACA JUGA:Pemborosan yang Sah : Dilema Etika di Balik Kepatuhan Anggaran
Di Indonesia, regulasi tentang etika kecerdasan buatan terus mengalami perkembangan, meskipun kerangka regulasinya masih dalam proses penyempurnaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi Digital Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya “kita belum memilih model regulasi.”
Tanpa kerangka etika yang kuat, perusahaan berpotensi menjadikan AI sebagai alat untuk mengeksploitasi data dan melakukan diskriminasi secara tidak langsung yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip good corporate governance.
BACA JUGA:Ketika Review Digital Jadi Ujian Etika Bisnis Modern, Rating 5 Bintang Fasilitas 2 Bintang
Ketika teknologi melangkah lebih cepat daripada moralitas, tugas dunia bisnis tidak hanya beradaptasi, tetapi juga memastikan bahwa setiap inovasi tetap berada di bawah kendali nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks kecerdasan buatan, etika bukan lagi pilihan tambahan, melainkan menjadi fondasi yang menentukan apakah teknologi memberikan manfaat atau justru menciptakan ketidakadilan baru.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: