Diksi elang dan banteng menghadirkan simbol hewan liar yang mandiri, menegaskan bahwa hutan merupakan tokoh utama, bukan latar pasif.
Baris “Gemuruh itu ternyata miliku juga” menjadi penanda penting. Di titik ini, penyair menempatkan dirinya sebagai bagian dari hutan.
Perspektif ini sejalan dengan etika wilderness Garrard: manusia belajar memahami batas dirinya ketika berhadapan dengan alam.
Ketika Zawawi menyebut hutan sebagai “seorang pertapa”, ia menghadirkan ruang kontemplatif yang lepas dari hiruk-pikuk dunia.
BACA JUGA:Diskon Semu di E-Commerce: Etika yang Terkubur di Balik Label Harga
Hutan tampil sebagai ruang maknawi, tempat manusia memperoleh keteduhan moral.
Namun gambaran itu tampak kontras dengan puisi Rini Intama.
Dalam Hutan yang Terluka, hutan muncul sebagai ruang berduka.
“Resah rimba adalah sabda alam,” tulisnya.
Hutan tidak lagi mengajari manusia tentang sunyi, melainkan menyampaikan luka akibat perilaku manusia.
BACA JUGA:Pemborosan yang Sah : Dilema Etika di Balik Kepatuhan Anggaran
Larik “Menyaksikan asap membumbung ke langit / memenuhi kesenyapan nurani” memperlihatkan bagaimana hutan kehilangan otonominya.
Dalam perspektif Garrard, ini merupakan potret hilangnya wilderness.
Rini memberi personifikasi tajam melalui larik “Kudengar jerit ilalang memaki ketidakadilan.”
Jeritan merupakan simbol ketidakseimbangan ekologis yang lahir dari perilaku manusia.
Hutan bukan alat retoris; ia hadir sebagai korban.