BACA JUGA:Ketika Review Digital Jadi Ujian Etika Bisnis Modern, Rating 5 Bintang Fasilitas 2 Bintang
Jika di tangan Zawawi hutan menawarkan ketenangan batin, di tangan Rini hutan tampil sebagai ruang yang dicabik ambisi industri.
Perbandingan kedua puisi ini memperlihatkan perubahan cara masyarakat memandang alam.
Hutan yang pernah menjadi pertapaan luas kini berubah menjadi ruang rawan.
Perubahan ini bukan sekadar pergeseran estetika sastra, tetapi juga cerminan perubahan ekologis Indonesia.
BACA JUGA:The Green Illusion in Indonesian Business
Dalam kerangka Garrard, wilderness merupakan cara masyarakat membangun relasi dengan alam.
Ketika penyair memotret hutan yang gemuruh sekaligus hutan yang terluka, mereka tengah memotret relasi manusia dengan alam: dari penghormatan menuju pengabaian.
Krisis ekologi sering bermula dari krisis imajinasi. Kita terbiasa mengukur hutan dalam hitungan rupiah per hektare, padahal hutan juga merupakan ruang spiritual dan psikologis.
Hilangnya wilderness berarti hilangnya sebagian kebudayaan yang pernah hidup dalam cerita rakyat, mantra, maupun kesadaran kolektif.
BACA JUGA:Filantropi vs Eksploitasi: Dilema Etika di Balik Citra CSR Korporasi
Kini ketika kebakaran hutan menjadi berita rutin dan deforestasi bergerak cepat, suara para penyair menjadi penting. Sastra menyediakan ruang untuk mendengar keluhan hutan secara manusiawi.
Hutan membutuhkan pengawasan dan pemulihan, tetapi juga membutuhkan pergeseran cara pandang.
Dalam pemikiran Garrard, wilderness adalah ruang yang membuat manusia belajar rendah hati. Ketika wilderness rusak, manusia kehilangan cermin untuk melihat dirinya.
BACA JUGA:Barista: Upah yang Tak Seindah Senyumnya
Pada akhirnya, dua puisi ini tidak hanya bercerita tentang hutan, tetapi juga tentang manusia.