Mitigasi Risiko Angin Kencang Butuh Kesadaran Kolektif
Dina Ayu Safitri Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar-DOK-MAGELANG EKSPRES
WILAYAH eks Karesidenan Kedu yang meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, dan Purworejo memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana hidrometeorologi, terutama angin kencang dan puting beliung.
Keragaman bentang alam di kawasan ini, dari lereng gunung berapi, perbukitan, hingga wilayah pesisir, menjadikannya rawan terhadap perubahan cuaca ekstrem. Dalam konteks inilah, upaya pencegahan dan mitigasi risiko bencana perlu mendapat perhatian lebih serius dari semua pemangku kepentingan.
Penanganan bencana tak lagi cukup hanya dengan respons cepat pascabencana. Paradigma baru yang perlu dibangun adalah bagaimana risiko bisa ditekan jauh sebelum bencana datang. Pencegahan bisa dimulai dari langkah sederhana, penanaman pohon pelindung di wilayah terbuka, penguatan struktur bangunan sesuai standar aman, hingga edukasi kebencanaan berbasis komunitas.
BACA JUGA:Etika Bisnis dan Jerat Pungli di Destinasi Wisata
Peran pemerintah daerah sangat strategis, khususnya dalam penguatan regulasi teknis seperti perizinan bangunan yang memperhatikan aspek ketahanan terhadap angin kencang. Namun di luar kebijakan formal, hal yang jauh lebih mendasar adalah bagaimana meningkatkan literasi kebencanaan di tengah masyarakat.
Informasi peringatan dini dari BMKG tentu sangat penting, namun efektivitasnya ditentukan oleh kemampuan pesan itu diterjemahkan secara lokal. Di Temanggung, Wonosobo, atau desa-desa lereng Merapi, pesan harus sampai ke warga dalam bentuk yang mudah dipahami dan relevan dengan keseharian mereka.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana meteorologis semacam ini tidak bisa dibebankan semata kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Ini adalah kerja kolektif, lintas sektor, dan multisumber daya. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta PP No 21 Tahun 2008 memberikan dasar hukum yang kuat, namun keberhasilannya sangat ditentukan oleh implementasi yang menyentuh hingga level terbawah, yakni desa dan dusun.
BACA JUGA:Whistleblowing System: Suara Hati yang Menjaga Bisnis
Tokoh agama, tokoh adat, guru, hingga pemuda desa adalah simpul penting dalam upaya ini. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang membumikan kesadaran mitigasi, mengenalkan tanda-tanda awal cuaca ekstrem, pentingnya rencana evakuasi keluarga, dan urgensi memiliki perlengkapan siaga sederhana.
Membangun Desa Tangguh Bencana tidak cukup sebagai slogan atau proyek insidental. Upaya ini harus tumbuh sebagai proses pembelajaran bersama yang berkelanjutan, mendorong gotong-royong dalam memperkuat rumah, menyusun jalur evakuasi, hingga menggelar simulasi berkala yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Upaya kolaboratif antara pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku usaha sangat dibutuhkan. Sosialisasi yang inklusif, kontekstual, dan disesuaikan dengan kearifan lokal dari pesisir selatan Purworejo hingga dataran tinggi Dieng, akan memperkuat ketahanan sosial-ekologis masyarakat Kedu.
BACA JUGA:Tunggakan Gaji karyawan PT Indofarma, Cerminan Praktik Kegagalan Etika Bisnis
Penguatan sistem mitigasi dari hulu ke hilir, mulai dari kebijakan, pendidikan publik, hingga keterlibatan warga, adalah kunci. Harapannya, setiap individu dari petani di lereng gunung, pedagang di pasar, hingga nelayan di pesisir memiliki pemahaman dan kesigapan yang memadai saat alam mulai menunjukkan gejala ekstremnya.
Bencana memang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Namun, risiko dan dampaknya dapat ditekan secara signifikan apabila kita mengedepankan pencegahan sebagai pondasi utama. Di sinilah pentingnya menempatkan mitigasi sebagai tanggung jawab bersama, agar kawasan kes Karesidenan Kedu senantiasa tangguh menghadapi tantangan alam. (adv)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
