Kiprah Komunitas Perempuan dalam Pengawasan Pemilu Inklusif di Kabupaten Magelang
Anggota Bawaslu Kabupaten Magelang, Sumarni Aini Chabibah SS MHum-DOKUMEN PRIBADI-MAGELANG EKSPRES
MAGELANGEKSPRES.ID - Dalam setiap fase sejarah demokrasi, perempuan selalu hadir sebagai denyut etis yang menjaga akal sehat publik. Namun, dalam konteks pengawasan Pemilu di tingkat daerah seperti di Kabupaten Magelang, denyut itu belum sepenuhnya beresonansi dalam struktur formal maupun praksis sosial. Padahal, demokrasi tak hanya memerlukan prosedur elektoral, lebih dari itu juga dibutuhkan partisipasi bermakna dari seluruh warga negara. Terutama bagi kelompok rentan yang kerap terpinggirkan.
Di tatanan lanskap sosial saat ini, tantangan serius terhadap kesetaraan politik masih terpolarisasi. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Kabupaten Magelang yang mengalami tren negatif dari 0,421 pada 2018 menjadi 0,451 pada 2022 (BPS Jawa Tengah, 2023). Persentase perempuan di legislatif daerah pun stagnan di angka 14%, jauh dari harapan minimal 30% sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Alih-alih sebatas angka, kesenjangan ini merefleksikan persoalan struktural. Rupanya, keberanian politik dan ruang aktualisasi bagi perempuan untuk turut mengawal demokrasi jauh dari kata sempurna.
BACA JUGA:Etika Bisnis dan Jerat Pungli di Destinasi Wisata
Sosialisasi dan pendidikan politik yang menyasar perempuan memang telah diupayakan, seperti terlihat dalam berbagai inisiatif dan pemberitaan media lokal. Namun, upaya ini baru menyentuh dari sisi permukaan dari kebutuhan mendalam untuk membangun gerakan pengawasan partisipatif yang berbasis komunitas.
Secara normatif, instrumen hukum telah memberi ruang yang cukup bagi keterlibatan perempuan dalam pengawasan Pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 serta Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2023 mengafirmasi pentingnya pelibatan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok rentan, dalam pengawasan partisipatif. Bahkan, pasal demi pasal secara eksplisit menyebut perempuan sebagai sasaran strategis dalam proses pendidikan politik dan pengawasan Pemilu.
Namun regulasi hanya memberi kerangka. Sedangkan dagingnya adalah kemauan dan kerja kolektif.
Di sinilah tantangan utama berada, menyulutkan api partisipasi di ruang sunyi seperti arisan ibu-ibu, majelis taklim, kelompok PKK, hingga jaringan informal di desa-desa pinggiran.
BACA JUGA:Tunggakan Gaji karyawan PT Indofarma, Cerminan Praktik Kegagalan Etika Bisnis
Dalam perjalanannya sebagai anggota Bawaslu Kabupaten Magelang selama dua periode, kita menyaksikan betapa komunitas perempuan di tingkat desa, sesungguhnya memiliki daya pengaruh yang besar jika diberikan ruang. Sedari awal, para perempuan tidak semata-mata dijadikan objek dari program sosialisasi, melainkan subjek yang turut mendesain agenda pengawasan Pemilu.
Program seperti Desa Anti Politik Uang dan Desa Pengawasan yang kini tersebar di 48 titik di Kabupaten Magelang telah membuka ruang itu. Di forum-forum informal misalnya, Bawaslu berbicara tentang integritas, tentang hak memilih, dan tentang keberanian untuk melapor. Bukan dengan jargon, tetapi melalui bahasa yang menyatu dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Perempuan dalam komunitas ini dilatih dan didukung untuk menjadi agen pengawasan. Mereka adalah orang pertama yang tahu siapa yang mencoba "membeli suara", mereka pula yang mampu menegur dengan cara khas keibuan. Di sinilah makna pengawasan partisipatif itu menjadi nyata, bukan sekadar menjadi mata dan telinga demokrasi, karena sejatinya merekalah nuraninya.
BACA JUGA:Geluti Bisnis Pakan Ternak, Alumni Polbangtan Kementan Raup Cuan
Tak lengkap bicara inklusivitas tanpa menyentuh isu disabilitas. Dalam banyak tahapan Pemilu, kelompok disabilitas masih menemui hambatan struktural. Pun di Kabupaten Magelang, Bawaslu mendorong pelibatan mereka bukan sebagai bentuk pemenuhan formal, melainkan sebagai bagian dari tanggung jawab etis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: