Geliat Bisnis Kopi di Kabupaten Temanggung

Geliat Bisnis Kopi di Kabupaten Temanggung

Geliat bisnis kopi di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah semakin terlihat nyata. Festival Kopi Temanggung 2019 baru saja berakhir pun selalu meninggalkan rasa optimis terhadap kelangsungan bisnis perkopian di Temanggung, yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah penghasil tembakau. Even yang berlangsung selama 4 hari (17-20 September 2019) itu mampu mendongkrak bisnis kopi di Temanggung. Transaksi tidak hanya terjadi saat festival kopi tapi masih berlanjut pasca even. JOKO SUROSO, Temanggung Siang itu, I’is Siti Robiatun (24) kembali disibukkan dengan rutinitas meracik aneka menu kopi dan menyuguhkan pada tamu yang berkunjung ke kedai Kopi Lawoek di kawasan alun-alun Temanggung. Sejak Agustus 2019, kedai yang dikelola bersama suaminya, Setyo Wuwuh (39) itu mulai buka sejak pukul 10.00 WIB. Sebelumnya kedai yang beroperasi sejak 2018 itu baru buka pukul 17.00 WIB. Melihat peluang bisnis kopi yang semakin cerah, suami-istri itu pun sepakat menambah waktu operasional melayani pengunjung. Kini mereka sudah memiliki 5 karyawan, yang siap membantu meracik dan menyajikan kopi pada tamu yang datang. I’is mendapat jatah shift pagi hingga sore, mulai pukul 10.00 WIB hingga 15.00 WIB, kemudian digantikan sang suami hingga tutup sekitar pukul 23.00 WIB. Kedai Kopi Lawoek yang berada di lantai 2 Ruko Temanggung Indah, sebelah selatan alun-alun itu menjadi tempat nongkrong anak-anak muda, termasuk para pencinta kopi. Aneka macam menu kopi, baik yang panas maupun yang dingin tersedia cukup lengkap. Tinggal memilih sesuai selera. Untuk menemani minum kopi juga tersedia aneka cemilan tradisional, juga makanan berat seperti nasi beserta lauknya yang dikemas dalam suasana café. I’is tak menampik even festival kopi yang baru saja usai mampu mengangkat kopi Temanggung. Sebab, banyak pengunjung dari luar daerah yang sengaja datang untuk melihat beragam produk kopi Temanggung. Apalagi, panitia sengaja mengundang perwakilan dari pelaku wisata (ASITA), PHRI serta yang lainnya. “Memang ada beberapa pengunjung dari luar daerah yang berbelanja di stand kami, banyak juga yang sebatas tanya-tanya, kemudian ada juga yang sudah memesan. Harapan kami, transaksi tidak hanya di sini (festival kopi) tapi bisa berlanjut setelahnya, seperti dalam festival-festival sebelumnya, juga begitu,” terang dia. Bisnis kopi yang ditekuni bersama sang suami sejak 2014 itu, tidak hanya tergantung pada even, seperti festival kopi atau lainnya. Namun, Setyo mengaku menjadi pemasok kopi sejumlah cafe di Jakarta, Jogjakarta, Solo dan beberapa kota di Nusa Tenggara Barat (NTB). “Selain itu, juga ada pelanggan, yang membeli kopi dan ingin dijual lagi, kami sudah mematok harga tertentu untuk masing-masing,” ujar pria yang biasa dipanggil Tiyok. Menurut Tiyok, semua produk berlabel Kopi Lawoek dibuat di rumahnya. Dia telah memproduksi lebih dari lima kopi jenis Arabika dan tiga kopi jenis Robusta, diantaranya, Arabika Peaberry, Arabika Honey, Arabika Honey, Arabika Wine, Arabika Natural Sindoro, Arabika Fullwash dan kopi luwak. Kopi-kopi tersebut dikemas dalam ukuran 100 gram dengan harga berkisar Rp20 ribu-Rp100 ribu. Setiap bulan, Tiyok mampu memproduksi kopi kemasan lebih dari 200 kg per bulan. Sebagian besar, berkisar 100 kg-150 kg, dipasok ke café-café dan pedagang dari luar kota, termasuk pembeli lewat oneline, sisanya dijual di kedai miliknya. Untuk memenuhi pesanan dari luar kota, Tiyok mengandalkan jasa pengiriman logistik, diantaranya JNE. Ongkos kirim dibebankan pada pemesan. “Selama ini lancar-lancar saja, barang yang dikirim sampai ke alamat pemesan, tak ada yang komplain,” imbuhnya. Kopi-kopi yang dijual itu dipetik dari kebun milik orang tuanya. Di lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, orang tuanya memiliki sekitar 1.500 tanaman kopi. Tiap kali musim panen bisa menghasilkan 9-10 ton dalam sepuluh kali panen. Kopi ditanam secara tumpangsari dengan tanaman tembakau pada musim kemarau dan dengan palawija pada musim hujan. Bisnis kopi, menurut Tiyok, harus telatan. Apalagi, harga kopi miliknya lebih mahal dibanding kopi instant buatan pabrik. Awal berjualan kopi seduh di pasar Kliwon Temanggung, dia sempat ragu karena harganya pasti lebih mahal dengan harga kopi di warung-warung yang menggunakan kopi instant. “Memang harus telatan, saya tak menyerah, meskipun awalnya banyak yang mencibir karena harga kopi yang saya jual kok mahal. Tapi berkat ketelatenan, untuk promosi, akhirnya banyak pedagang pasar yang menjadi pelanggan di kedai kami,” terang dia. Tosy, pedagang kopi secara oneline mengibaratkan berjualan kopi itu adalah berjualan promosi. Semakin pandai meyakinkan orang maka semakin banyak pula yang membeli kopi. “Pinter-pinter promosi saja karena orang itu sudah tertarik pasti akan membeli,” kata perempuan yang sudah mempunyai pelanggan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Perempuan kelahiran Purwokerto yang kini menetap di Temanggung itu mengawali jualan kopi dengan menawarkan lewat media sosial pada teman-temannya di Jakarta. Beberapa teman mulai tertarik dan memesan. Kemudian mereka mengenalkan pada temannya lagi hingga mempunyai pelanggan dari berbagai kota. “Biasanya mereka order lewat WA, setelah transfer uang sesuai harga yang disepakati ditambah ongkir, kemudian baru kami kirim barangnya,” ujarnya. Tosy mengaku tidak kesulitan untuk mengirim kopi bubuk yang dipesan karena sudah banyak jasa pengiriman logistik yang ada di Temanggung, diantaranya JNE. Keberadaan jasa pengiriman barang tersebut sangat membantu usahanya. Tosy memang tidak memproduksi kopi bubuk sendiri. Namun, dia sengaja membeli kopi bubuk dari sejumlah penjual kopi Temanggung, sesuai yang diinginkan. Kemudian dikemas sendiri dengan label merk miliknya. “Saya biasa mencari kopi bubuk di sejumlah penjual kopi. Datangi penjual satu ke yang lain, cari harga yang paling murah dengan kualitas sama. Kalau harganya cocok baru saya bayar,” jelasnya. Menurut Tosy, keunggulan kopi asli Temanggung itu, diantaranya rasanya lebih soft dan terasa aroma rempah-rempah. Sebab, tanaman kopi di Kabupaten Temanggung yang berada di lereng Sumbing dan Sindoro itu ditanam dengan cara tumpangsari dengan tanaman tembakau. “Itu diantara keistimewaan kopi Temanggung yang disukai oleh pelanggan saya,” imbuhnya. Bupati Temanggung M Al Khadziq meyakini prospek kopi Temanggung pun semakin cerah, apalagi kualitas kopi Temanggung yang sudah diakui di dunia internasional. Bupati mengklaim kopi Temanggung yang terbaik di Jawa. “Alhamdulillah kopi Temanggung sudah dikenal di seluruh Indonesia, bahkan sudah merambah mancanegara,” ujarnya. Sebagaimana diketahui, sekitar 30 persen komoditas kopi yang diekspor Jateng berasal dari Temanggung. Produk kopi Temanggung pernah ikut ditampilkan dalam ajang Sepeciality Association of Amerika (SCAA) di Atlanta, Georgia pada 2016. Menyuguhkan kopi Robusta dan Arabika, yang menjadi salah satu komoditas unggalan Temanggung. Pada tahun 2017, kopi Robusta Temanggung berhasil menjuarai Kontes Kopi Spesialti Indonesia di Jakarta. Kopi asal Gesing, Kecamatan Kandangan, Temanggung itu mengungguli kopi sejenis asal Sumba Barat dan Tenggamus, Lampung. Kopi Temanggung lainnya, yang masuk 14 besar, antara lain, kopi asal Gunung Payung, Kecamatan Candiroto, Temanggung. Bupati mendukung setiap kegiatan untuk mempromosikan kopi Temanggung. Orang nomer satu di Kabupaten Temanggung itu pun menetapkan tiap Jumat sebagai ‘Hari Minum Kopi’ bagi masyarakat yang tinggal di Kota Tembakau. Imbauan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Bupati bernomer 500/513/IX/2019 tentang Hari Minum Kopi. “Memang minum kopi bisa dilakukan kapan saja, tapi khusus hari Jumat, yang minum kopi semakin banyak, instansi-instansi pemerintah maupun swasta diminta menyuguhkan kopi lokal, juga pada kegiatan lain diimbau untuk menyuguhkan kopi lokal pada para tamunya. Dengan begitu, permintaan kopi semakin meningkat sehingga kesejahteraan petani maupun pelaku usaha industri kopi pun meningkat,” ungkapnya. (*)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: