Tidak Ada Minoritas-Mayoritas di Wonosobo

Tidak Ada Minoritas-Mayoritas di Wonosobo

MAGELANGEKSPRES.COM, WONOSOBO – Praktik keberagaman di Kabupaten Wonosobo mendapatkan sorotan dari tim Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan adanya kunjungan dan dialog di pendopo kabupaten, kemarin (2/8). Sebanyak 9 perwakilan Wantimpres diterima Wakil Bupati Agus Subagiyo dalam agenda dialog bertajuk Pembudayaan Pancasila yang mengangkat tema menggerakkan dan menerapkan nilai kearifan lokal dalam kehidupan berbangsa bersama para tokoh Forum kerukunan Umat Beragama (FKUB), perwakilan pemuka lintas agama, budayawan, seniman, media, dan perwakilan masyarakat. “Kiprah dari FKUB Wonosoboini menurut kami memang membanggakan, terlebih banyak menjadi tujuan studi dari berbagai lembaga hingga daerah lain. Kami juga sudah mendeklarasikan sebagai kabupaten ramah ham sekitar tiga tahun lalu dan bisa dilihat sendiri di keseharian warga wonosobo yang sarat toleransi,” ungkap Wabup ketika membuka acara. Perwakilan ketua tim Watimpres Julie Trisnadewani mengungkapkan bahwa keberadaan Wonosobo sangatlah penting sebagai contoh daerah yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal sebagai daerah yang menerapkan toleransi sejak dahulu. Bahkan nilai-nilai Pancasila dan kebhinnekaan juga tercermin di banyak wilayah desa. “Kami dari tim Kajian Wantimpres ingin gali kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia sebagai akar Pancasila. Kami melihat ternyata Wonosobo memiliki nilai-nilai seperti itu yang sudah selayaknya diangkat lewat media dan menjadikan kebanggaan karena menjadi rumah keberagaman,” ungkapnya. Senada, menurut perwakilan tim, Zastrow Al-Ngatawi peranan Dieng sebagai situs spiritual sudah ada sejak era wangsa Sanjaya- Syailendra dengan bukti adanya makam-makam para syekh yang berdampingan dengan penemuan reruntuhan candi. “Ketika mendampingi Gus Dur saat melacak makam-makam para ulama, saya melihat sendiri banyak praktik toleransi yang sudah ada sejak era Hindu-Buddha. Bahkan ketika Islam masuk dengan bukti makam-makam seperti di Kalilembu dan Syekh Qutbudin. Ini adalah cerminan budaya nusantara yang ada di Wonosobo dan sudah ada sejak dahulu,” ungkap Zastrow. Tiga nilai yakni Hamengku Budaya, Hamomong spirit tradisi nusantara, serta Hamomot atau memberi ruang sehingga terjalin kerukunan memang sudah tertanam di Wonosobo. Sehingga pihaknya berniat meminta masukan dari para budayawan. Hal itu juga tercermin di Desa Kadipaten yakni di Kecamatan Selomerto yang menjadi desa Kerukunan dan Kebhinnekaan. “Di desa kami Kadipaten, lebih khususnya di Dusun Giyanti atau Njanti yang memang menjadi penanda usai perjanjian Giyanti 1755, toleransi itu sudah mendarah daging sejak dahulu. Bahkan saya bisa pastikan, tidak ada minoritas dan mayoritas di Njanti. Adanya kakak dan adi, sebagai kakak yang tua melindungi adiknya. Di desa kami, suara gending menjadi media untuk memanggil dan menyatukan warga. Bahkan gotong royong membangun tempat ibadah juga bukan lagi hal yang aneh. Semua itu juga tercermin di even tahunan nyadran sura dengan tenongan, kita bersatu dan guyup tanpa melihat agama atau kepercayaan,” ungkap tatag taufani Anwar, Sekdes Kadipaten sekaligus Dalang Muda. (win)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: