Barista: Upah yang Tak Seindah Senyumnya
Novi Irawati Ambar Astuti, Mahasiswa Magister Akuntansi UGM Yogyakarta-DOK-MAGELANG EKSPRES
YOGYAKARTA terkenal dengan budaya yang kental kini menghadirkan sederet coffee shop yang mulai menjamur. Munculnya banyak coffee shop ini membuka lowongan kerja bagi masyarakat sekitar.
Para anak muda yang notabene mahasiswa atau lulusan SMA banyak sekali yang menerima tawaran kerja ini. Akan Tetapi, seringkali sebagian pemilik usaha ini tidak memberikan upah minimum yang layak.
Pemilik usaha sering kali membedakan pekerja yang hanya lulusan SMA dan masih mahasiswa dengan memberikan upah yang tidak sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR).
BACA JUGA:Korporasi dan Krisis Etika Politik: Ketika Donasi Korporasi Jadi Senjata Pengendali Kebijakan
Upah yang diberikan seringkali dibawah UMR jauh dan itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi kebanyakan pengusaha kuliner dan coffee shop. Hal ini jelas menunjukkan ada hal yang tidak etis dalam bisnis.
Dari segi jam kerja antara pekerja full-time dan part-time juga tidak terpaut jauh. Rata-rata pekerja full-time bekerja selama kurang lebih delapan jam per hari. Sedangkan, pekerja part-time bekerja selama kurang lebih enam jam per hari.
Hal ini membuktikan bahwa dari segi jam kerja hanya terpaut dua jam saja. Sedangkan, dari segi upah pekerja part time hanya mendapatkan hampir separuhnya dari upah pekerja full time. Kini, alasannya semakin kuat. Etika bisnis belum sepenuhnya dijalankan di bisnis ini.
BACA JUGA:Influencer dan Endorsemenet: Ketika Uang Bicara Lebih Keras dari Kejujuran
Secara umum pekerja baik part-time maupun full-time diatur secara komprehensif dalam peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian diubah dan diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Sebelum diubah UU Ketenagakerjaan Pasal 90 ayat (1) dan diperkuat dalam UU Cipta Kerja, secara tegas melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.
Praktik diskriminatif dengan meremehkan pekerja berdasarkan status pendidikan adalah bentuk ketidakadilan yang dilarang oleh prinsip ketenagakerjaan.
BACA JUGA:Program Mudik dan Balik Rantau Gratis Jawa Tengah Kembali Raih Antusiasme Masyarakat
Hal ini semakin parah mengingat tidak ada disparitas jam kerja yang signifikan antara pekerja full-time dan part-time. Namun, dari segi upah mereka baik full-time maupun part-time tidak mendapatkan standar upah minimum.
Dari pandangan etika bisnis, praktik pemberian upah di bawah standar ini menunjukkan kegagalan fundamental dalam menerapkan prinsip-prinsip moral dalam usaha.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: