Awas Cukong Pilkada!, Modali Pencalonan Kepala Daerah Tak Pernah Tersentuh
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Koorporasi kerap bermain di ranah Pilkada. Tak jarang, mereka disokong lewat anggaran perusahaan karena ada faktor tertentu. Seperti pengamanan, menjaga kekuasaan lahan dan sumber lain yang dikuasai perusahaan. Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Ujang Komarudin menyatakan hal tersebut lazim terjadi dalam pesta demokrasi di Indonesia. Ia mencontohkan, kasus yang terjadi di Lampung. “Ada dari perusahaan gula misalnya. Pada gubernur Arinal Djunaidi setelah diusung gulam baru menang. Sebelumnya Ridho Ficardo juga seperti itu,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Kamis (27/2). Menurutnya, kepala daerah yang didukung oleh korporat menjadi penyakit dalam demokrasi. Alasannya jelas. Ketika dibiayai saat Pilkada dan terpilih, maka kepala derah tersebut harus balas jasa. Ini bukan soal mengembalikan uang. Tetapi bisa dilakukan lewat kekuasaan. Bukan cuma kepala daerah. Legislatif juga berlaku hal sama. Sejumlah calon legislatif ketika ingin maju mengikuti kontestasi juga didanai. Hanya saja, balas jasa yang diberikan berupa regulasi ataupun aturan. “Inilah kenapa saya bilang jadi penyakit. Kenapa menjadi penyakit? Karena ketika mereka membiayai harus ada balas jasa kepada kepala daerah yang disokong. APBD akan diijon. Kemudian terjadi kesepakatan antara pengusaha dan penguasa,” terang Akademisi Universitas Islam Al Azhar tersebut. Meskipun ada batasan aturan, Ujang meyakini jika pelaporan dana kampanye yang disusun oleh calon kepala daerah tidak semuanya dipaparkan secara transparan. Ada sejumlah dana yang tidak dilaporkan. Karena jika dilaporkan berpotensi melanggar. “Semua aturan diakali para pelaku politik dan pelaku usaha. Laporan dana kampanye misalnya, harus bisa diakali. Karena itu tidak aneh jika banyak suap dan korupsi. Ini demokrasi berbiaya mahal. Termasuk mahar politik yang diberikan ke parpol saat mendaftar. Antisipasinya, akan sangat sulit. Karena sudah menjadi budaya,” beber Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) tersebut. Meskipun penyelenggara pemilu berusaha mengimbau kepada para pemilih untuk menolak politik uang, hal tersebut tidak akan berpengaruh banyak. “Sekuat apapun penyelenggara pemilu mengampanyekan hal tersebut, harus ada kesadaran dari para pelaku politik,” tambahnya. Hal senada diungkapkan pengamat politik Emrus Sihombing. Menurutnya, akan sangat sulit membongkar dan menyentuh para cukong politik tersebut. Ia beranggapan, sistem yang ada yang membuat biaya politik mahal. Sehingga ada peluang para cukong tersebut masuk memanfaatkan kondisi. “Istilahnya tidak ada makan siang gratis. Tentu ada balas jasa. Inilah kenapa banyak pejabat daerah yang tertangkap KPK. Karena apa, ada kemungkinan kepala daerah harus mengembalikan uang yang pernah diterima. Ataupun, soal perizinan. Ini bisa dilakukan oleh kepala daerah,” kata akademisi Universitas Pelita Harapan tersebut. Menurutnya demokrasi yang dibangun Indonesia adalah demokrasi liberal. Sangat bebas. Siapapun yang memiliki modal, bisa menanamkan pengaruhnya kepada penguasa. Meskipun ada aturan soal mendanai pilkada, hal itu sebatas aturan. Ia melihat praktik cukong politik akan sulit diberantas di Indonesia. Soal aturan, legislatif bisa saja membuat regulasi secara ketat. Hanya Emrus pestimistis. Alasannya, para legilatif berasal dari partai politik. Sehingga kecil kemungkinan dewan mempersempit ruang gerak partai. “Jalan satu-satunya adalah ikuti sesuai aturan. Atau kita menunggu 10 atau 20 tahun lagi, saat kaum milenial sadar akan demokrasi yang dibangun ini salah. Sehingga mereka bisa mengubah aturannya,” papar Emrus. Terpisah, Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, soal besaran dana bantuan perseorangan, semuanya sudah jelas ada di dalam PKPU. “Saya lupa angka pastinya. Kalau tidak salah 75 atau 750,” ujar Evi di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (27/2). Saat ini, lanjut Evi, KPU tengah fokus kepada tahapan Pilkada Serentak 2020. “Sekarang fokus calon perseorangan dulu. Soal dana, itu kan ada di kampanye,” tandasnya. Diketahui, dalam peraturan KPU sumbangan dana kampanye yang berasal dari badan hukum swasta dan partai maksimal sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan sumbangan dari pihak perseorangan maksimal sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Batasan ini sesuai dengan Peraturan KPU 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Atau Walikota dan Wakil Walikota. (khf/fin/rh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: