Tak Sembarang Tembakau yang Dipilih dalam Wiwit Metik Sata

Tak Sembarang Tembakau yang Dipilih dalam Wiwit Metik Sata

Proses upacara Wiwit Metik Sata atau mengawali petik panen tembakau di Dusun Anggrunggondok Desa Reco Kecamatan Kertek menjadi salah satu atraksi budaya yang dihidupkan tahun ini. Selain didorong oleh adanya rangkaian Festival Sindoro Sumbing, agenda itu juga memang sangat dinantikan oleh para sesepuh desa. ERWIN ABDILLAH, Kertek Terlebih, upacara adat yang mulai banyak ditinggalkan di era modern ini, sebenarnya sarat akan berbagai nilai luhur yang menjadikan manusia bisa menghormati alam dengan semestinya. “Inti dari ritus Wiwit Metik Sata ini adalah meminta izin dan ungkapan rasa syukur atas berkah panen tembakau yang melimpah di tahun ini. Salah satu bagian yang penting ialah menemukan manten mbako, yakni dua tembakau yang letaknya berdampingan dan memiliki sifat dan atau bentuk dahan yang hampir sama meskipun besar kecilnya beda,” ungkap Mbah Tito pemimpin ritual, usai kegiatan kemarin sore (19/7).

Syarat Letak Berdampingan, Sifat Dahan Mirip
Agenda yang terpusat di lapangan Dusun Anggrunggondok itu dihadiri Camat Kertek, perwakilan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, kades, budayawan, warga, petani, hingga para tamu undangan dari berbagai daerah. Urutan upacara dimulai dengan kirab 7 bucu, 7 tenong, dan 7 jenis kelengkapan sesaji lainnya. “Semua bagian dari sesaji ada maknanya tersendiri seperti halnya rakan pasar yakni buah-buahan yang meskipun terlihat sederhana ada arti mendalam. Seperti Belimbing yang maknanya adalah membimbing, sehingga para pemimpin diharapkan bisa membimbing rakyatnya. Begitu pula bucu yang syarat makna seperti memancarkan cahaya dengan bucu kuning di kegelapan yang simbolnya bucu nasi hitam,” imbuhnya. Menurut Kabid Kebudayaan disparbud, Khristiana Dewi agenda itu menjadi sebuah awalan untuk bisa mendorong masyarakat Reco untuk terus melestarikan ritual tersebut. Hal itu mengingat atraksi budaya tersebut bisa menjadi sebuah atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan. “Selain melibatkan proses ritual seperti penyematan bundel Songgo Buwono yang menarik disaksikan dari sisi budaya, juga menampilkan kekayaan kuliner lokal yang mungkin hampir punah saat ini. Ada bucu yang warnanya separo hitam separo putih, ada yang dari nasi hitam semua, bahkan ada yang warnanya kendit atau pola tiga warna. Ada juga hidangan lain seperti olahan nasi jagung hingga beraneka jenang. Itu semua menjadi uba rampe untuk mengawinkan manten mbako,” ungkap Dewi. Agenda diramaikan dengan suguhan musik tradisional gamelan Gadhon bersama para musisi lokal. Prosesi puncak diadakan di kediaman pemilik lahan atau Doan dengan upacara doa dan makan bersama. Agenda itu sekaligus menjadi penyampaian pesan kepada para petani yang mengikuti prosesi dan dijelaskan makna dari berbagai sesaji itu. “Harapan kami, warga desa, agenda ini bisa diadakan tahunan dan bisa mearik minat wisatawan ke dusun kami, mengingat kami juga membuka jalur pendakian Sindoro danmemiliki berbagai potensi seperti tambakau dan kopi,” ungkap Galih, pemuda setempat sekaligus pengurus basecamp pendakian. (win)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: