Pemborosan yang Sah : Dilema Etika di Balik Kepatuhan Anggaran

Pemborosan yang Sah : Dilema Etika di Balik Kepatuhan Anggaran

Sanriana Natali Riwu Djami, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-DOKUMEN-MAGELANG EKSPRES

DI banyak instansi pemerintah, kepatuhan administratif sering kali menjadi ukuran utama keberhasilan. Prosedur dijalankan dengan benar, laporan keuangan tertata rapi, dan serapan anggaran tinggi menjadi simbol kinerja yang tampak efektif.

Namun dibalik deretan angka tersebut apakah masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya? Anggaran mungkin sah secara prosedur tetapi belum tentu benar secara moral. Ketika hal ini diabaikan, pelayanan publik perlahan mulai bergeser dari ruang pengabdian menjadi sekedar alibi moral.

Dalam semangat good governance, kepatuhan seharusnya berjalan beriringan dengan kebajikan. Ukuran keberhasilan tidak cukup diukur dari tinggi rendahnya serapan anggaran, melainkan sejauh mana dana publik memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Fenomena ini sangat terasa dalam praktik sehari-hari. Misalnya, pengadaan alat kesehatan canggih di Rumah Sakit Daerah.

BACA JUGA:Ketika Review Digital Jadi Ujian Etika Bisnis Modern, Rating 5 Bintang Fasilitas 2 Bintang

Secara administratif, seluruh proses tampak sempurna, dimulai dari perencanaan, tender hingga pelaporan. Semua dilaksanakan sesuai aturan, lengkap dan bukti fisik barang. Namun, ketika alat tersebut akhirnya tidak digunakan secara optimal karena ketiadaan tenaga ahli, pelatihan, atau dukungan operasional, muncul pertanyaan etis yang lebih mendalam, apakah keputusan pembelian itu benar-benar bijak?

Tidak ada pelanggaran hukum di sana. Tetapi secara moral, terjadi pemborosan terselubung. Anggaran terserap dan dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan. Namun manfaat sosialnya, justru tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Di titik inilah batas antara kepatuhan prosedur dan tanggung jawab moral menjadi kabur atau sering disebut kebutaan etika (ethical blindness).

Sejalan dengan hal itu, maka etika kebajikan hadir untuk menilai kembali makna tindakan. Teori etika kebajikan menegaskan bahwa tindakan baik lahir dari karakter yang baik. Dalam mengelola dana publik, prinsip kebajikan seperti kehati-hatian (prudence), keadilan, dan tanggung jawab seharusnya menjadi tanggung jawab utama.

BACA JUGA:The Green Illusion in Indonesian Business

Sementara itu, para pejabat publik tidak berhenti pada pertanyaan “apakah ini sesuai aturan”, tetapi lebih dalam dari itu “apakah ini pantas dan membawa manfaat bagi masyarakat?".

Keberhasilan kinerja pemerintah tidak dapat diukur hanya dari kepatuhan administratif semata, tetapi dari kebijaksanaan moral dibalik setiap keputusan. Sebab, setiap rupiah yang dibelanjakan adalah amanah kepercayaan rakyat. Ketika pemerintah tidak hanya berusaha patuh, tetapi juga bijak, di saat itulah pelayanan publik kembali menemukan maknanya, bukan sekedar tertib di atas kertas, tetapi benar dalam makna yang sesungguhnya. (*)

Artikel ini ditulis oleh Sanriana Natali Riwu Djami, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: