Desa Deyangan Bangkitkan Ruh Spiritual Borobudur Lewat Tradisi dan Budaya
DISKUSI. Sejumlah warga mengikuti Jagongan Magelangan di Balai Desa Deyangan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang.-HARYAS PRABAWANTI-MAGELANG EKSPRES
MERTOYUDAN, MAGELANGEKSPRES.ID - Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur menggelar forum bertajuk 'Jagongan Magelangan' dalam rangka memperingati 23 Tahun Ruwat Rawat Borobudur, Kamis 19 Juni 2025.
Kegiatan yang digelar di Balai Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang tersebut menjadi momentum untuk mengangkat kembali ruh spiritual Candi Borobudur dan memperjuangkan keterlibatan desa-desa sekitar dalam pengembangan pariwisata super prioritas.
Kepala Desa Deyangan, Risyanto, menyampaikan, meski hanya berjarak dua kilometer dari Borobudur, wilayahnya belum tersentuh manfaat langsung dari geliat wisata.
BACA JUGA:Lebih dari 1.800 Pelari Dunia Siap Ramaikan Interhash 2026 di Borobudur dan Prambanan
“Kami hanya dapat macetnya saja. Tapi potensi desa kami sangat besar, baik secara spiritual, budaya, maupun alam,” ujar Risyanto saat ditemui Magelang Ekspres, Kamis 19 Juni 2025.
Padahal, menurut Risyanto, Desa Deyangan memiliki beragam potensi seperti wisata religi di makam Mbah Abdul Rahim, leluhur pendiri Pondok Lirboyo yang kini memiliki lebih dari 50.000 santri.
Selain itu, lanjut dia, desa ini menawarkan panorama gunung Merapi, Sumbing, dan Menoreh melalui jalur usaha tani, serta telah membangun rest area dan kios desa, yang siap dikembangkan sebagai kawasan wisata mandiri.
BACA JUGA:Pembuat Video Viral 'Umrah di Borobudur' Akhirnya Diamankan Polresta Magelang
“Sudah kami siapkan tanah 2.000 meter untuk Koperasi Merah Putih, dan BUMDes kami sudah berstatus PKP (Perusahaan Kena Pajak), artinya bisa mandiri secara usaha,” tambah Risianto.
Menariknya lagi, diskusi tersebut turut menghadirkan akademisi, pemerhati budaya, hingga perwakilan dari BRIN dan Kementerian seperti Profesor Wiendu Nuryanti yang menjadi pembicara untuk menyoroti pentingnya memaknai Borobudur sebagai ruang spiritual, bukan semata objek wisata massa.
“Borobudur adalah tempat kontemplasi dan meditasi. Tapi sekarang dikembangkan sebagai wisata massa, yang cenderung mengaburkan makna spiritualnya. Setelah 42 tahun, keterlibatan masyarakat lokal seperti Deyangan masih sangat minim,” kata tokoh pemerhati Borobudur, Sucoro.
BACA JUGA:Buntut Viralnya Video AI 'Umrah di Borobudur', Polisi Segera Panggil Saksi Ahli
Tak hanya diskusi, dalam forum tersebut juga dilakukan penyerahan hibah 1.000 buku karya dokumentasi tentang Borobudur kepada masyarakat, sebagai bagian dari upaya menguatkan literasi budaya dan sejarah lokal.
"Pesan utama dari forum ini adalah pentingnya keadilan spasial dan sosial dalam pengembangan kawasan pariwisata super prioritas Borobudur," kata Sucoro.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: magelang ekspres