Biarkan Koruptor dan Napi Narkoba Tetap di Penjara
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Polemik pembebasan ribuan narapidana (napi) demi mencegah penyebaran Covid 19 terus menjadi sorotan. Terlebih ada rencana membebaskan napi korupsi yang usianya sudah 60 tahun ke atas. Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner, Emrus Sihombing meminta pemerintah untuk mengkaji lagi wacana pembebasan narapidana korupsi dan narkoba. Pasalnya dua tindak pidana tersebut tengah diperangi Indonesia. Jadi, wacana pembebasan bersyarat atau asimilasi terhadap napi korupsi dan narkoba tidak tepat. Apalagi dasar yang digunakan yakni pencegahan penyebaran Covid 19 di Indonesia. \"Negara kita kan darurat narkoba sesuatu dengan pidato Pak Presiden Jokowi, lalu korupsi juga kita perangi, dua kasus ini seharus tidak diberikan asimilasi atau bebas bersyarat,\" katanya kepada FIN, Minggu (5/4). Dia menyarankan pemberian asimilasi atau bebas bersyarat terhadap napi pidana umum tidak berdasarkan usia, namun berdasarkan tes kesehatan dari ahli medis atau dokter. \"Ini lebih rasional minta keterangan ahli medis, faktor kesehatan bukan karena usia, karena masalah Covid-19 masalah daya tahan tubuh,\" jelasnya. Namun, kata Emrus, pihaknya sependapat jika salah satu syarat yang mendapatkan asimilasi yakni napi yang telah menjalani masa tahanan dua pertiga dari vonis majelis hakim. \"Di satu sisi penjara kita sudah penuh, Keluarkan saja yang menjalani dua pertiga masa hukuman,\" tegasnya. Namun, Emrus kembali mengingatkan agar koruptor dan napi narkoba tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan asimilasi atau bebas bersyarat. \"Biar saja mereka nginap di balik jeruji besi itu,\" tutupnya. Sementara, Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan pemerintah perlu membuatkan tempat isolasi bagi para napi yang dibebaskan dari Lapas sebagai bentuk cegahan Covid 19. \"Kan keluarnya napi tidak dicek kondisi kesehatan secara detail oleh ahli medis, tetapi harus diantisipasi dampaknya di masyarakat, maka langkahnya buat tempat karantina,\" katanya kepada FIN. Dia juga meminta pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat menyulut masalah baru, misalnya pernyataan Menteri Yasonna Laoly yang mengatakan pihak yang menolak pembebasan napi sebagai pencegahan Covid 19 tidak memiliki rasa kemanusiaan. \"Ya tidak seharusnya seperti itu, dalam situasi seperti sekarang ini, hendaknya langkah-langkahnya solutif dan antisipatif,\" jelasnya. Suparji justru balik bertanya apakah para koruptor punya rasa kemanusiaan? Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan sebelum mengeluarkan kebijakan yang kiranya dapat menimbulkan masalah baru. \"Selesaikan dulu di internal pemerintah. Bisa dibalik, koruptor dulu punya rasa kemanusiaan tidak?,\" ujarnya. Menurutnya, penolakan pembebasan napi di tengah pencegahan wabah Covid 19 yakni narapidana korupsi dan narkoba. Artinya jangan digeneralisir. \"Yang ditolak kan napi koruptor, narkoba, terorisme, untuk napi umum dan tahanan politik dapat dibebaskan,\" tegasnya. \"Inilah yang seharusnya tidak terjadi inkosistensi, wacana dan narasi harus pasti. Inilah problem besarny .ada disparitas antara choice dan noice atau antara aksi dan narasi,\" tutupnya. Diketahui, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan hanyaborang yang tumpul rasa kemanusiaan yang tidak mau membebaskan narapidana dari Lapas dengan kondisi kelebihan kapasitas ditengah pandemi Covid 19. \"Hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaan dan tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di Lapas Over Kapasitas,\" katanya. Pernyataan ini merespon sejumlah pihak yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana pemerintah untuk membebaskan para narapidana ditengah pandemi Covid 19. Terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Nugroho hingga Minggu (5/4), sebanyak 31.786 narapidana (napi) dewasa dan anak telah dibebaskan. \"Angka itu akan terus bergerak, jajaran kami terus mendata narapidana dan anak yang memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 untuk dirumahkan melalui asimilasi dan integrasi,\" ujarnya. Nugroho mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa napi dan anak merupakan bagian dari kelompok yang rentan tertular COVID-19. \"Kondisi ini semakin dipicu permasalahan overcrowding yang terjadi hampir di seluruh lapas dan rutan seluruh Indonesia,\" kata dia. Nugroho menegaskan bahwa narapidana dan anak yang diberikan asimilasi dan integrasi adalah mereka yang tidak terkait Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. “Mereka yang menjalankan asimilasi dan integrasi adalah yang tidak terkait PP 99, termasuk kasus tindak pidana korupsi yang saat ini sedang ramai dibicarakan,\" kata Nugroho. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa 30.000 lebih narapidana dan anak yang telah dibebaskan kini berada dalam pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Selama masa tersebut, kata dia, narapidana dan anak tersebut wajib mengikuti bimbingan dan pengawasan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas dengan wajib lapor. “Karena kondisi seperti ini, maka pembimbingan dan pengawasaan dilakukan secara daring melaui video call atau fasilitas sejenis oleh PK BAPAS,†kata dia.(lan/gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: