Mantan Koruptor Tunggu 5 Tahun

Mantan Koruptor Tunggu 5 Tahun

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dilayangkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Mahkamah Konstitusi (MK) diamini sebagian. Dalam putusannya, MK menyatakan mantan koruptor boleh ikut Pilkada setelah bebas lima tahun. Perludem menilai Putusan MK atas Uji Materi Pasal Pencalonan Mantan Napi di Pilkada (Putusan No. 56/PUU-XVII/2019, Red), meski tidak mengakomodir semua permohonan, menjadi kado istimewa dalam suasana peringatan hari antikorupsi internasional (9 Desember) dan Hak Asasi Manusia internasional (10 Desember). Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, putusan MK ini sekaligus menegaskan sikap MK terhadap perannya dalam menjaga demokrasi yang konstitusional dan berintegritas. “Ke depan kami berharap, Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik,” ujar Fadli di gedung MK, Jakarta, Rabu (11/12). Selain itu, dia berharap ada langkah ekstra yang dilakukan KPU pascaputusan MK. Yakni dalam melakukan pengaturan teknis pelaksanaan pilkada sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon. Khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon. Termasuk pengaturan teknis yang kongkret untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum. Perludem juga mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU tentang pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota, menyesuaikan dengan materi yang sudah diputus oleh MK, sesuai Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019. Revisi peraturan ini penting segera dilakukan, agar mekanisme teknis pencalonan lebih pasti, khususnya bagi mantan terpidana yang akan menjadi calon. Ia juga meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggatian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap. Sebab, dengan ditangkap oleh KPK, maka si calon tidak bisa melakukan kewajibannya dalam berkampanye sebagai bagian dari kerja pendidikan politik yang harus dilakukan. “Dengan demikian, calon yang kena OTT KPK itu tidak bisa lagi melakukan proses pencalonan secara permanen,” terangnya Selain itu, di dalam ketentuan Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napi. “Dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama, dan kapan bebas murni di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil,” tegasnya. Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz memuji pertimbangan MK untuk menjadikan fakta empiris sebagai dasar pemberlakuan jeda 5 tahun. Menurutnya, waktu tunggu memang perlu diterapkan agar memperkecil peluang bekas koruptor mengulangi perbuatannya di kemudian hari. “Masa jeda didesain untuk memberi waktu korektif bagi mantan terpidana korupsi untuk mengevalusi perbuatannya,” ujar Donald. Dia menegaskan putusan MK tersebut berlaku sejak dibacakan. Karena itu, KPU mesti mengubah kembali PKPU No 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PKPU No. 3/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah agar dapat diterapkan dalam Pilkada 2020. “Tidak butuh waktu lama untuk memperbaiki pasal, hanya tambahkan frasa ‘5 tahun’ jeda. Tidak perlu uji publik lagi,” tutupnya. (khf/fin/rh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: