Parpol Wajib Lihat Rekam Jejak Cakada

Parpol Wajib Lihat Rekam Jejak Cakada

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mantan terpidana kasus korupsi, semua partai politik (parpol) harus melihat rekam jejak calon kepala daerah (cakada) dalam kontestasi Pilkada 2020. \"Artinya semua partai politik harus melihat rekam jejak calon-calonnya. Apakah kemudian sudah melewati jeda 5 tahun atau belum,\" kata Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12). Dia mengatakan semua pihak harus menghormati putusan MK. Karena itu, tiap parpol harus mencari calon yang memiliki rekam jejak sesuai harapan masyarakat. Politisi PDIP tersebut menjelaskan, mekanisme internal partainya terkait pencalonan calon kepala daerah akan mengikuti putusan MK tersebut. Menurutnya, melihat rekam jejak cakada tersebut sangat penting. Sehingga jeda waktu lima tahun harus dilakukan. Bukan hanya dalam kasus korupsi, namun juga terkait perkara lainnya. \"Dalam pencalonan harus mencari orang yang punya rekam jejak yang baik dan bisa diterima publik,\" jelasnya. Baca juga Kondisi BKK Pringsurat Kian Tak Menentu, Pemkab Temanggung pun Kesulitan Mengambil Uang Seperti diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam putusannya, MK mengabulkan memberikan masa tunggu selama 5 tahun bagi mantan terpidana. Artinya, mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu 5 tahun usai menjalani pidana penjara. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Syarief Hasan. Dia menilai putusan MK terkait mantan terpidana kasus korupsi harus diikuti. Sebab, berkekuatan hukum tetap. \"Kalau MK sebagai final justifikasi tentu harus diikuti. Suka atau tidak, itu adalah keputusan institusi yang bersifat final dan mengikat,\" kata Syarif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12). Syarief menilai, MK adalah institusi terakhir untuk mendapatkan keadilan. Sehingga kalau lembaga tersebut sudah mengeluarkan putusan harus diikuti. \"Kalau MK sudah memutuskan begitu, seharusnya semuanya mematuhi,\" imbuhnya. Dia menilai, pasca putusan MK itu, semua dikembalikan kepada partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Apakah masih mencalonkan mantan terpidana kasus korupsi atau tidak. Terpisah, analis politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono menilai perlu pendidikan politik bagi rakyat supaya tidak memilih mantan napi koruptor di Pilkada Serentak 2020. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip berpendapat putusan itu sudah tepat. Dalam Pada amar putusan MK yang dibacakan pada Rabu (11/12), Ketua MK Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem. Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan. Terkait hal itu, Teguh menyatakan apa yang diajukan aktivis itu bertujuan supaya pemilih lupa akan orang itu atau mulai dari nol. Akan tetapi, kepentingan politik selalu bermain. Bahkan, di semua keputusan hukum selalu ada keputusan politik. Soal eks narapidana kasus korupsi masih berpeluang menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020, lanjutnya, bergantung pada perspektifnya. \"Jadi, kalau lembaga pemasyarakatan dinilai sebagai lembaga yang ditujukan untuk memasyarakatkan orang, membuat orang lebih baik, siapa pun yang jadi narapidana, bisa menjadi calon. Karena itu hak konstitusional,\" pungkasnya. (rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: