Rugikan Negara, PPATKAN Sedot Rp2 Triliun , Kasus Rekening Kasino Kepala Daerah Belum Terungkap

Rugikan Negara, PPATKAN Sedot Rp2 Triliun  , Kasus Rekening Kasino Kepala Daerah Belum Terungkap

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Sepanjang tahun 2019, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berhasil menyelamatkan uang negara sekitar Rp2,327,384,759,427,- atas kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan kejahatan keuangan lainnya. Kalkulasi kerugian negara tersebut belum termasuk dugaan kasus pencucian uang yang dilakukan kepala daerah melalui rekening Kasino. Kasus pertama adalah penyelundupan benih lobster. Ketua Kelompok Humas PPATK Natsir Kongah, mengungkapkan aliran dana mencapai Rp900 miliar pertahun. PPATK bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Reserse Kriminal Polri bekerja sama guna mengungkap kasus ini. ”Dalam setahun, aliran dana dari luar negeri yang diduga digunakan untuk mendanai pengepul membeli benur tangkapan nelayan lokal mencapai Rp300 miliar hingga Rp900 miliar,\" ujarnya. Natsir menerangkan, dampak dari eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan (khususnya lobster) yang tidak sesuai peraturan berakibat pada semakin menurunnya ekspor lobster dari Indonesia ke luar negeri. ”Tindakan ini dapat menimbulkan kerugian negara yang signifikan/mengurangi penerimaan negara. Dan mengancam kelestarian sumber daya lobster di Indonesia,\" jelas Natsir. Modus yang digunakan oleh para pelaku yakni melibatkan sindikat internasional. Sumber dana berasal dari bandar yang ada di luar negeri yang kemudian dialirkan ke berbagai pengepul di Indonesia. Penggunaan kegiatan usaha valuta asing (PVA/money changer) sebagai perantara transaksi antara sindikat yang berada di luar negeri dengan pelaku di Indonesia. Modus selanjutnya penggunaan rekening pihak ketiga, antara lain toko mainan, perusahaan/pemilik usaha garmen, dan perusahaan ekspor ikan dalam menampung dana yang berasal dari luar negeri. Kasus kedua adalah penyelundupan telepon seluler. PPATK bersama Jendral Bea dan Cukai menelusuri perkara ini. Pada periode 2012-2016 aliran dana dari luar negeri yang diduga terkait dengan pembayaran atas pembelian handphone mencapai Rp1, 2 triliun. Dampak dari penyelundupan handphone yang tidak sesuai peraturan dapat menimbulkan kerugian negara yang signifikan/mengurangi penerimaan negara. Selain itu penyelundupan handphone dapat menurunnya investasi industri ponsel di Indonesia dan merugikan konsumen dalam negeri. ”Modus yang digunakan oleh para pelaku yakni melibatkan jaringan penyelundupan ponsel di Indonesia melalui pesisir Sumatera (Batam, Pekanbaru, dan Jambi) untuk didistribusikan di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta,\" jelas Natsir. Pelaku juga melibatkan penjual/distributor ponsel di Indonesia, kegiatan usaha valuta asing (PVA/money changer), dan penyelenggara transfer dana (PTD/money remittance) sebagai penyedia sarana pembayaran ponsel ke luar negeri, serta pihak transporter yang memiliki peran dalam pengangkutan barang selundupan dari luar Indonesia masuk ke pesisir Sumatera, untuk kemudian diteruskan ke Jakarta. Kasus selanjutnya adalah kasus narkotika dan pencucian uang. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutus Lisan Bahan dengan putusan 3 tahun penjara, denda Rp50 juta, menyita 12 mata uang asing, dan uang sejumlah Rp3.744.281.357 untuk negara. Kemudian kasus korupsi pembangunan jalan dan jembatan. Modus dari kasus ini ialah dari total nilai proyek sebesar Rp573.028.662.867 tersebut, berdasarkan hasil pemeriksaan hanya sebesar Rp112.377.014.349 (19,61%) yang dapat diidentifikasikan sebagai transaksi yang terkait dengan kegiatan operasional pembangunan jalan dan jembatan. ”Sisanya sebesar Rp223.640.478.069 (39,03%) diduga tidak terkait dengan kegiatan usaha mengingat transaksinya dilaku- kan melalui transaksi tunai,\" jelas Natsir. Modus pelaku menggunakan perusahaan valuta asing (money changer) serta perusahaan yang bergerak di bidang penjualan emas. ”Modus ini dilakukan untuk memudahkan transaksi keuangan para tersangka,” katanya. Berdasarkan temuan PPATK teridentifikasi sejumlah transaksi mencurigakan yang tidak sesuai dengan profil dan peruntukannya, mengingat sumber dana pada rekening pemenang tender berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Teridentifikasi sedikitnya 33 pihak yang memiliki profil sebagai pejabat publik dan penyelenggara negara yang menerima aliran dana terkait proyek ini. Kasus kelima yakni perdagangan satwa liar yang dilindungi. PPATK mengungkap sindikat internasional perdagangan satwa liar yang dilindungi dengan melibatkan jaringan di 42 negara. Dalam pengungkapan kasusnya, PPATK menjalin kerjasama analis dengan FIU Thailand (AMLO) dan pertukaran informasi intelijen keuangan dengan sejumlah FIU terkat. Kemudian kasus perdagangan manusia. Diungkap praktik perdagangan anak di bawah umur untuk kegiatan prostitusi (child sex exploitation) yang melibatkan sindikat kejahatan di 31 negara. PPATK juga mengidentifikasi penggunaan aset kripto sebagai sarana pembelian video porno yang menayangkan aktivitas seksual anak-anak di bawah umur oleh sejumlah pihak di luar negeri kepada oknum WNI. ”Penelusuran PPATK juga menemukan adanya praktik perdagangan manusia dengan tujuan beberapa negara di kawasan Timur Tengah,\" bebernya. Selanjutnya kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter. PPATK masih melakukan penelusuran atas aliran dana terkait indikasi korupsi dan TPPU dalam pengadaan Helikopter AW-101. Dalam pengungkapan kasus ini, PPATK bekerja sama dengan FIU Amerika (FinCEN) dan FIU Italia (UIF). Dan yang sedang ramai belakangan ini adalah kasus dugaan pencucian uang yang dilakukan Kepala Daerah ke rekening Kasino. PPATK menelusuri transaksi keuangan beberapa Kepala Daerah yang diduga melakukan penempatan dana yang signifikan dalam bentuk valuta asing dengan nominal setara Rp50 miliar ke rekening kasino di luar negeri. Kendati, PPATK enggan membeberkan nama-nama kepala dearah yang menginvestikan dana APBD ke tempt perjudian (Kasino). Ditemukan juga aktivitas penggunaan dana hasil tindak pidana untuk pembelian barang mewah dan emas batangan di luar negeri. \"PPATK juga masih menelusuri aliran dana TPPU di kasus eks Bupati Kutai Kertanegara (RW) dan pihak terkait lainnya, baik individu maupun korporasi. Dalam kasus ini, tindak pidana korupsinya telah berkekuatan hukum tetap dan sedang dalam pembuktian TPPU,\" terangnya. Pada periode Januari sampai dengan November 2019, telah menyampaikan 537 hasil analisis (HA) dan 450 Informasi. HA didominasi oleh indikasi tindak pidana korupsi sebanyak 211, dilanjutkan 73 terindikasi kejahatan perpajakan, dan 46 terkait penipuan. Sejumlah 39 juga telah disampaikan terkait dengan pendanaan terorisme, di luar yang terkait dengan narkotika, penggelapan, kejahatan cukai, dan lainnya. ”Keseluruhan hasil analisis tersebut telah disampaikan kepada penyidik, baik kepada Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,\" kata Natsir. HA yang telah disampaikan ke penyidik tersebut terdiri dari 166 proaktif (atas inisiatif PPATK) dan 371 reaktif (atas permintaan penyidik) yang berindikasi TPPU dan/atau tindak pidana asal yang telah disampaikan kepada penyidik. PPATK juga memiliki fungsi pemeriksaan terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Di tahun 2019, pemeriksaan difokuskan pada wilayah berisiko tinggi dan dengan indikasi tindak pidana berisiko tinggi TPPU, antara lain narkotika, korupsi, pengelolaan dan penerimaan keuangan negara (pajak, cukai, kepabeanan), sumber daya alam, kejahatan perbankan, pengejaran aset hasil tindak pidana, dan tindak pidana pemilu. Pemilihan fokus tersebut merupakan bentuk tindak lanjut penilaian nasional risiko TPPU di Indonesia serta Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tahun 2017-2019. Selama periode Januari hingga November 2019, Hasil Pemeriksaan (HP) PPATK telah menyentuh angka 19 HP. HP tersebut diserahkan kepada penyidik terkait dari Komisi Pemberantasan Korupsi (8 HP), Kepolisian (7), Kejaksaan Agung (2), dan masing-masing 1 kepada Badan Narkotika Nasional, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Ke 19 pihak terlapor tersebut antara lain berprofesi sebagai kepala daerah, pegawai negeri sipil (PNS) dan pengusaha (pihak swasta), korporasi, Pegawai Bank, Proyek Strategis Nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (dim/fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: