Usulan Jabatan Presiden 3 Kali Masih Menimbulkan Pro dan Kontra

Usulan Jabatan Presiden 3 Kali Masih Menimbulkan Pro dan Kontra

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Wacana perubahan masa jabatan presiden jadi tiga periode menuai pro dan kontra. Wacana tersebut juga belum masuk dalam pembahasan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Peneliti LIPI, Siti Zuhro mengatakan wacana masa jabatan presiden tiga periode merupakan keinginan-keinginan rezim di era demokrasi yang menginginkan status quo. Wacana ini pernah pula digaungkan semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Ada keinginan di era demokrasi pengen status quo, berkaca pada era orde baru mungkin,\" katanya di Jakarta , Minggu (24/11). Untuk itu, kata Siti, hal-hal seperti ini harus betul-betul dikaji dengan kajian akademik yang melibatkan ahli. \"Perubahan itu boleh dan wajar, tapi kalau diubah sesuai selera itu yang jadi masalah,\" katanya. Baca Juga Tujuh Orang jadi Korban, Kedua Ormas di Temanggung Akhirnya Berdamai Dia mengusulkan presiden menjabat selama satu periode agar bisa fokus melakukan pekerjaannya. \"Ini pilihan ya. Mempertimbangkan berbagai hal tadi, kayaknya presiden itu sulit di periode pertamanya itu fokus hanya untuk kerja, karena lalu bagaimana dia terpilih lagi. Itu sudah lazim ya, jadi jamak kita lihat, di Pilkada juga seperti itu,\" katanya. Ada opsi lainnya, yaitu presiden bisa dipilih untuk periode kedua tapi tidak dalam jangka waktu pemilihan yang berurutan. Fokus pada pekerjaan kembali menjadi alasan Siti mengusulkan hal tersebut. \"Ya memang satu periode itu bagus. Kalaupun mau opsi lanjutannya, dua periode tapi harus diselingi dulu, tidak boleh langsung ikut lagi. Jadi fokus pada pekerjaannya saja. Mungkin memang perlu ada satu periode sehingga fokus. Kalau pun dijadikan dua periode, diselingi dulu,\" ucapnya. Meski demikian, perlu ada kajian serius terkait periode jabatan presiden ini. Kajian itu menurutnya tetap harus memikirkan rakyat. Baca Juga Dianggap Mengganggu, Pemkot Tertibkan Pedagang Liar di Jalan Gatot Soebroto \"Kalau satu periode dampak positifnya, dampak negatifnya ini kekuatan kelemahannya. Lalu juga kalau dua periode dengan ada jeda itu apa juga dampak-dampaknya positif dan negatifnya, prospektif tidak, aplikatif tidak untuk rakyat Indonesia,\" ujar Siti. Terkait usulan agar perdebatan periode jabatan presiden ini tidak dikaitkan dengan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Siti pun setuju. Ia pun meminta agar MPR diberi kesempatan untuk menampung aspirasi-aspirasi yang ada. \"Ya pastinya Pak Jokowi didera lagi oleh isu-isu yang tidak ada hentinya. Kita membuat polemik-polemik baru. Jadi menurut saya biarkanlah MPR ini sedang berproses. Kalaupun di luar MPR ingin ikut memberikan sumbang saran dan sebagainya, itu juga harus memahami filosofi teks dan konteks,\" ucap Siti. \"Jadi jangan asal cuap. Harus memahami betul gitu ya. Ketika apakah bentuk ideal ini aplikatif, bermanfaat, dan sebagainya,\" pungkasnya. Wakil Ketua MPR Arsul Sani menjelaskan, usulan tersebut adalah aspirasi dari luar bukan MPR. \"Tiba-tiba sudah ada yang bicara tentang perubahan masa jabatan presiden. Jadi itu dari (pihak) luar,\" kata Arsul. Dijelaskannya, terkait hal tersebut MPR belum membahasnya. Dia pun sempat menyinggung pernyataan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi satu periode dalam waktu delapan tahun. Dengan adanya usulan tersebut dia mengklaim tidak ada komunikasi antara pihaknya dengan Hendropriyono. \"Saya kira Pak Hendro via media saja. Tapi sejauh ini tidak ada komunikasi Pak Hendro dengan kami di MPR,\" sebut Arsul. Arsul mengatakan saat ini beberapa fraksi di MPR masih mendukung sistem presiden menjabat selama lima tahun dan bisa dipilih maksimal dua periode. \"Presiden untuk lima tahun dan hanya bisa dipilih untuk satu kali masa jabatan lagi itu dipertahankan. Dan sejauh ini posisi fraksi-framsi di MPR itu sementara masih seperti ini,\" ungkap Arsul. Tetapi, ada beberapa wacana yang menginginkan jabatan presiden dari dua hingga tiga periode. Seperti kata dia, PSI yang mewacanakan diubah dari satu periode menuju 7-8 tahun. \"Ya enggak salah (untuk dikaji). Itu lah wujud dari the living constitution,\" jelas Arsul.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: